Mengembalikan Peran Informal Leader
Oleh
Drs Nugroho W Sistanto
PEMIMPIN
tidak resmi atau informal leader selalu saja dapat ditemui pada setiap
komunitas. Meskipun tidak memiliki SK Pengangkatan sebagaimana lazimnya
pemimpin formal pada lembaga swasta maupun pemerintah, namun kepemimpinan jenis
ini (informal leader) sangat efektif dalam menjalankan kepemimpinannya, yaitu
kemampuannya untuk mempengaruhi (influence) orang lain untuk bertindak atau
melakukan sesuatu sesesuai dengan keinginan si pemimpin itu sendiri. Kuatnya
pengaruh yang dimiliki pemimpin informal berkaitan dengan proses kemunculannya
yang didasarkan atas kemauan dari anggota kelompok atau orang-orang yang
dipimpinnya, karena memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dan berorientasi pada
kepentingan anggota kelompok. Dengan demikian maka wajar apabila loyalitas
anggota kelompok tidak diragukan lagi.
Timbul
pertanyaan apakah peran demikian bisa berubah? Kalau jawabannya bisa, mengapa
hal ini bisa terjadi? Pemimpin informal memiliki hubungan yang kuat dengan
anggota kelompoknya. Hal ini dikarenakan anggota kelompok atau orang-orang yang
dipimpin kenal betul dengan figur si pemimpin itu sendiri dan merasa bahwa
kepentingannya dapat diakomodir dan merasa tenteram dengan keberadaan si
pemimpin yang bersangkutan. Berbagai persoalan yang menimpa komunitas yang
bersangkutan disampaikan kepadanya untuk mendapat jalan pemecahan (problem
solving), atau membahas berbagai rencana kegiatan ataupun hal-hal lain yang
dipandang perlu untuk meningkatkan kualitas hidup bersama, dan bahkan untuk
menghadapi ancaman (baik fisik maupun nonfisik) yang datangnya dari dalam
maupun dari luar, pendek kata mereka sekaligus menjadi narasumber bagi
masyarakat/anggota kelompoknya.
Tidak
mengherankan apabila pemimpin informal dijadikan penghubung dalam
mengkomunikasikan berbagai program pembangunan pemerintah agar anggota
komunitas yang bersangkutan dapat menerima. Namun celakanya, tidak semua
program pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan
anggota komunitas yang bersangkutan. Di sinilah terjadi benturan kepentingan
antara berpihak kepada anggota kelompok yang telah memberikan kewenangan untuk
memimpin atau berpihak kepada kepentingan pemerintah (penguasa) yang terkadang
mengesampingkan kepentingan anggota kelompoknya. Tidak jarang pilihan jatuh
pada pilihan yang ke dua karena mendapat tekanan dari pemerintah dan dicurigai
macam-macam karena dianggap menghalang-halangi pembangunan/kemauan pemerintah
atau bahkan tergiur oleh iming-iming yang ditawarkan. Hal ini dapat terjadi
karena meskipun telah diupayakan adanya pembangunan/perencanaan pembangunan
yang datangnya dari bawah (bottom up), namun dalam kenyataannya hal demikian
masih belum optimal, sehingga masih saja dijumpai pelaksanaan pembangunan yang
datangnya dari atas (top down) dari berbagai tingkatan (Pusat, Dati I, maupun
Dati II).
Pilihan
ke dua ini yaitu berpihak kepada kepentingan pemerintah (penguasa) mengandung
resiko kepercayaan anggota kelompok kepada figur si pemimpin yang bersangkutan
dapat melemah oleh karena yang semula dianggap memperjuangkan kepentingan
anggota kelompok telah berubah menjauh. Di sinilah integritas pemimpin yang
bersangkutan benar-benar diuji agar dalam situasi dan kondisi apapun tetap
konsisten dengan peran yang dimainkannya yaitu berpihak kepada kepentingan
anggota kelompok. Hal inilah yang menurut hemat penulis merupakan salah satu
faktor penyebab terjadinya ketidakharmonisan hubungan antara yang memimpin
dengan yang dipimpin. Kondisi demikian mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam
menyikapi persoalan/permasalahan yang dihadapi pada tingkat elite maupun
tingkat massa (grass root). Sehingga tidak mengherankan apabila terjadi situasi
di mana pada tingkat elite tidak terdapat konflik, namun pada tingkat massa
terjadi konflik yang sulit diselesaikan atau sebaliknya, karena tidak
terdapatnya kesesuaian sikap/pendapat di antara keduanya. Upaya apapun yang
dilakukan oleh pemimpin informal akan sia-sia sebab anggota kelompok sudah
tidak lagi percaya kepada figur yang semestinya menjadi panutan. Kini saatnya
pemimpin informal untuk kembali pada peran yang sesungguhnya agar dipercaya dan
dicintai oleh anggota kelompok atau orang-orang yang dipimpinnya sehingga
berbagai persoalan dapat diselesaikan bersama secara tuntas tanpa meninggalkan
bibit-bibit konflik yang baru dengan persoalan yang serupa.
(Penulis,
alumni Fisipol Untan Pontianak 1991, bekerja pada Kandeppen RI Kab Ketapang).