Pemerintah Harus Terus Hati-hati Tetapkan
PSDH
Tahun
2000 PE Turun Menjadi 10 Persen
Pontianak,
AP Post.
Salah
satu hasul temu usaha mengenai pemantap ekspor hasil perkayuan terutama kayu
gergajian dan olahan menyarankan, supaya pemerintah lebih berhati-hati dalam
menetapkan besarnya pajak ekspor (PE) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Sebab,
pajak yang sama juga dikenakan kepada eksportir produsen untuk di dalam negeri.
"Saya
kira wajar, para eksportir produsen perkayuan agar pemerintah berhati-hati
menetapkan besarnya PSDH nantinya, setelah PE nol persen, kalau tidak produk
mereka akan sulit bersaing denga produk sejenis di luar negeri," kata
Kabid Perdagangan Luar Negeri Kanwil Depperindag Kalbar, Drs Soetaryo Soeradi
kepada AP Post kemarin usai temu usaha pemantapan ekspor hasil perkayuan (kayu
gergajian dan olahan), antara para pengusaha eksportir produsen dengan Drs Agus
Purwotom, fasilitator dari Direktorat Depperindag, di aula Kanwil Depperindag
Kalbar.
Menurut
Soetaryo, pertemuan tersebut dilaksanakan dalam rangka menyampaikan menginformasikan
mengenai ketentuan-ketentuan ekspor hasil perkayuan, terutama terhadap hasil
kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF yang tertuang dalam letter of
intent, terutama mengenai mekanisme pengutan PE kayu.
Misalnya,
kalau dulu sistem lumpsum (penetapan nilai pajak menggunakan per meter kubik),
setelah kesepakatan itu dirubah menjadi ad valorem atau harga patokan ekspor
dikali persentase PE, dengan tingkat pajak ekspor setinggi-tingginya 30 persen,
yang secara gradual akan diturunkan menjadi 10 persen pada Tahun 2000. Yang
saat ini PE-nya sudah turun dari 30 persen menjadi 20 persen, sesuai dengan SK
Menkeu Nomor 107 Tahun 1999.
"Berdasarkan
letter of intent pemerintah kita wajib menetapkan resource rent tax, yang lebih
dikenal dengan sebutan PSDH," ujarnya.
Menurut
Soetaryo, PSDH ini nantinya, jika PE kayu sudah menjadi nol persen, maka
nantinya PSDH merupakan satu-satunya pungutan (single tax) yang dikenakan
terhadap kayu, termasuk hasil hutan lainnya seperti rotan.
Namun
PSDH tersebut sifatnya bukan diskriminatif
di dalam pajak. Namun pengenaan PSDH ini disamping terhadap ekspor, juga
dikenakan terhadap penjualan di dalam negeri.
Karena
pengenaannya di luar dan di dalam negeri, maka para eskportir kita, melalui
fasilitator dari Direktorat Ekspor Depperindag minta, agar pemerintah hendaknya dalam penetapan besarnya PSDH
harus berhati-hati agar industri di dalam negeri bisa bersaing dengan industri
sejenis di luar negeri, karena di dalam negeri PSDH juga dikenakan.
"Kekhawatiran mereka itu saya nilai bagus, nantinya akan menjadi masukan
bagi pengambil kebijakan negara dalam menetapkan PSDH tersebut," ujar Soetaryo.
Dalam
temu usaha tersebut, eksportir produsen juga memaparkan mengenai permasalahan
yang mereka hadapi saat ini, diantaranya, mengenai merosotnya produksi komoditi
hasil perkayuan dan potensi hutan alam produksi, akibatnya, biaya produksi
menjadi mahal.
Bahkan
sekarang sudah terjadi kesenjangan yang cukup serius antara kebutuhan bahan
baku dengan potensi produksi dari hutan. "Mereka juga menyampaikan kepada
utusan dari Direktorat ekspor kita, tentang masih tingginya angka penyelundupan
kayu ke luar negeri terutama di daerah-daerah perbatasan," kata Soetaryo
mengutif keluhan para eksportir perkayuan.
Ditanya
perkembangan ekspor kayu, Soetaryo menjelaskan, selama terjadinya krisis telah
menyebabkan merosotnya ekspor komoditi hasil perkayuan, karena di negara-negara
importir hasil kayu Indonesia juga mengalami hal yang sama. Bahkan pada 1998
ekspor perkayuan Kalbar menghasilkan devisa senilai USD 323,8 juta atau minus
38,8 persen dibandingkan 1997 dengan nilai ekspor USD 529,6 juta.
Sedangkan
pada 1999 nilai ekspor sektor perkayuan juga terjadi penurunan, namun tidak
separah selama 1998. Menurut Soetaryo, pada 1999 (priode Januari-Mei) nilai
ekspor USD 123,9 juta, atau menurun 1,6 persen dibanding priode sama pada 1998
tercatat USD 125,9 juta. "Dari data yang ada pada kita, anjloknya nilai
ekspor tersebut dikarenakan volume ekspor mengalami penurunan,"
katanya.(abu)