Nikmatnya Menjadi Ketua DPRD
Pontianak,
AP Post
KETUA
memang tidak identik dengan komandan, atau Kepala instansi tertentu. Ketua
lebih identik dengan orang yang dituakan oleh anggota kelompok dan tentu bisa
saja berganti jika anggota mengehdakinya. Tetapi, kenyataan menunjukkan Ketua
DPRD memang berbeda dari anggotanya baik secara protokoler maupun soal
"rezeki." Untuk mendapatkan gambaran tentang posisi seorang etua DPRD
berikut politisi Drs H Jimmi Mohammad Ibrahim yang juga seorang mantan Ketua DPRD Kalbar Rabu lalu,
ia menerima Mella Danisari dari AP Post
Bagaimana
kedudukan Ketua maupun Wakilnya (Pimpinan) DPRD menurut Undang-undang
Sebelum
melangkah ke soal Undang-undang saya perlu jelaskan, bahwa memang dikalangan
parpol yang caleg jadinya akan menduduki kursi di Dewan dan juga masyarakat
yang punya perhatian terhadap lembaga legislatif dan perwakilan rakyat daerah
tersebut, ramai membicarakan siapa yang akan menduduki jabatan Ketua DPRD baik
tingkat I maupun II, seolah-olah jabatan Ketua punya arti yang sangat strategis
dalam Dewan sehingga menjadi rebutan fraksi-fraksi.
Berdasarkan
UU Nomor 5 Tahun 1974 dengan peraturan pelaksanaannya termasuk Permendagri dan
Kepmendagri, sebenarnya sudah ditegaskan bahwa pimpinan DPRD, baik Ketua maupun
Wakil Ketua itu bersifat "kolektif".
Maksud
"kolektif" itu bisa Anda jelaskan ?
Itu
berarti Ketua DPRD tidak bisa bertindak sendiri tetapi selalu harus
dikonsultasikan terlebih dahulu dengan para Wakil Ketua, apabila hendak
melakukan suatu tindakan berkaitan dengan fungsi Ketua. Perlu diingat, seorang
Ketua bukan seorang komandan dalam pasukan Angkatan Bersenjata dan bukan pula
seorang Kepala Dinas/Jawatan, apalagi sebagai Kepala Daerah atau pimpinan
birokrasi. Jadi pimpinan DPRD itu, baik Ketua maupun Wakilnya dalam kegiatan
apapun dan keputusannya harus bersifat kolegial.
Tetapi
itukan menurut terminologi, kenyataannya di lapangan bagaimana?
Ya,
inilah yang disebut dengan das sollen, yang seharusnya sesuai dengan pengertian
pimpinan yang bersifat kolegial dan sesuai pula dengan peraturan yang berlaku.
Tetapi apa yang disebut das sein dimana realita sebenarnya dalam praktik,
sering kita temukan dan amati bahwa Ketua DPRD merasa dirinya orang penting dan
menduduki posisi strategis dalam Dewan sehingga bisa menyebabkan arogansi atau
mungkin sombong.
Apakah
arogansi timbul karena Ketua DPRD menyamakan dirinya dengan seorang Komandan ?
Menurut
saya, memang begitulah adanya. Salah kaprah yang demikian, dimana Ketua DPRD
menyamakan dirinya dengan seorang Komandan, Kepala Dinas/Jawatan bahkan Kepala
Daerah inilah yang acapkali terjadi di DPRD tingkat I maupun II, terutama di
era Orde Baru.
Lantas
apa nilai lebih yang membedakan antara Ketua dengan Wakil Ketua, anggota DPRD
lainnya ?
Dilihat
secara emolumenten, baik itu uang kehormatan, tunjangan dan fasilitas yang
diperoleh Ketua berbeda dengan Wakil Ketua bahkan anggota DPRD lainnya,
terutama mengenai penghasilan seorang Ketua DPRD yang lumayan besar.
Bisa
Anda jelaskan lebih lanjut mengenai "nyamannya" jabatan Ketua DPRD
sehingga banyak diperebutkan ?
Seorang
Ketua mendapat kendaraan roda empat yang agak berbeda mutu dan harganya dengan
para wakil Ketua, apalagi dengan anggota sendiri pun tak mendapat fasilitas
tersebut, meski di beberapa daerah para Ketua Fraksi mendapat fasilitas mobil
tetapi tetap saja berbeda dengan kepunyaan Ketua/Wakil Ketua. Mengenai biaya
kehormatan, semacam gaji yang diterima Ketua juga berbeda dengan para Wakil
Ketua, malah para anggota mendapat uang kehormatan/gaji yang lebih rendah dari
pimpinan DPRD. Sedangkan perjalanan dinas/peninjauan lapangan, fasilitas rumah
jabatan dan segala biaya rumah tangga seperti biaya telpon, listrik, alat
perlengkapan rumah tangga biasanya disediakan, namun inipun tergantung pada
likuiditas keuangan daerah yang bersangkutan.
Kalau
mengenai dana TF, sepengetahuan anda bagaimana?
Memang
ada semacam dana TF yang disediakan setiap tahunnya dalam APBD dan diserahkan
pada Ketua untuk mengelolanya. Jumlahnya lumayan besar, bisa mencapai 100 juta
bahkan 300 juta. Dan emolunten serta fasilitas inilah yang membedakan kedudukan
seorang Ketua dengan Wakil Ketua, apalagi para anggotanya.
Kedudukan
secara protokoler seperti kita ketahui, Sang Ketua tampaknya cukup istimewa?
Ketua
DPRD mendapat kedudukan protokoler yang sangat terhormat. Bagi Ketua DPRD II,
ia duduk sejajar dengan Bupati/Walikota, sedangkan Ketua DPRD I, pastinya ia
akan duduk sejajar dengan Gubernur.
Berdasarkan
versi UU Nomor 5 Tahun 1974, pimpinan DPRD adalah pula Badan Pertimbangan
Daerah (Baperda), dimana Ketua DPRD sebagai Ketua Baperda, sedangkan para Wakil
Ketua menjadi anggota Baperda. Dan untuk jabatan di Baperda itu, mereka
mendapat honorarium tersendiri. Baperda ini adalah counterpart Kepala Daerah.
Mereka sewaktu-waktu dapat mengadakan
pertemuan dengan Kepala Daerah, dan apa yang dibicarakan Kepala Daerah mengenai
saran atau pemikiran Baperda tidak boleh dipublikasikan sehingga Baperda ini
menjadi semacam saingan bagi DPRD itu sendiri.
Pemberlakuan
Baperda untuk pimpinan DPRD sekarang, apakah akan tetap diterapkan ?
Oh,
sekarang tidak lagi. Dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, Baperda itu dihapus dan
tidak ada lagi.
Bagus
tidaknya Ketua DPRD memimpin Dewan, ukurannya apa ?
Dilihat
dari sudut fasilitas jabatan, memang kedudukan seorang Ketua itu
"istimewa" dan sangat menarik untuk diperebutkan. Namun demikian,
apabila pengertian pimpinan DPRD sebagai suatu kolektivitas (kolegiaal) itu
dihayati dan disadari sebagai jabatan mengemban amanat rakyat, maka kedudukan
Ketua bukan jabatan istimewa dan akan sangat ditentukan oleh pribadi orang yang
menduduki jabatan Ketua itu. Dalam hal keuangan, apakaah dia melaksanakan open
management atau manajemen terbuka, apakah transparan, semua itu tergantung pada
pribadi "sang Ketua".
Begitupun
dalam proses partisipasi para Wakil Ketua dan para Ketua Fraksi dan Komisi
serta anggota, dalam proses kegiatan atau mekanisme DPRD, semua akan sangat
ditentukan oleh "sang Ketua".
Menurut
Anda, bagaimana syarat seorang Ketua DPRD itu ?
Seorang
Ketua harus memiliki kualitas koordinasi (coordination quality), kemampuan berkomunikasi
(communication quality) dan tanggap menghadapi masalah sosial, politik dan
ekonomi. Termasuklah dalam hal sampai seberapa jauh Ketua mendorong adanya
partisipasi Wakil Ketua/Ketua Fraksi dan Ketua Komisi turut serta dalam proses
mekanisme DPRD, misal mendistribusikan surat-surat sehingga seluruh anggota
Dewan mengetahui semua permasalahan yang dialami rakyat dan harus turun menemui
rakyat di lapangan.
Secara
intern bagaimana, karena dia kan dipilih anggota?
Biasanya
pimpinan DPRD ini kan hanya bisa ditemui anggota kalau ada rapat-rapat resmi
sesuai tata tertib, karena itu Ketua harus mampu menciptakan satu pertemuan
informal yang bersifat informatif, saling bertukar informasi. Kalau dalam ABRI
kita kenal adanya "jam komandan" maka dalam DPRD harus pula ada
waktu-waktu tertentu dimana Ketua dan Wakil Ketua mengadakan pertemuan
informal, tidak berbentuk rapat formal untuk menyampaikan informasi dan
background information mengenai beberapa permasalahan tertentu. Ini semua tidak
diatur dalam tata tertib resmi, tiap Ketua mempunyai gaya kepemimpinan
(leadership style) masing-masing. Ketua bukan duduk di "menara
gading," ia adalah pimpinan sebuah
lembaga yang membela dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Lantas,
bagaimana pula kedudukan Ketua diantara badan-badan kelengkapan DPRD itu
sendiri?
Alat
kelengkapan DPRD meliputi pimpinan DPRD, Komisi-komisi dan Panitia DPRD. Ketua
DPRD, ia yang mengetuai Panitia Musyawarah DPRD dan Panitia Anggaran DPRD, dan
untuk tugas ini ia mendapat honorarium lagi.
Mengenai
pemilihan Pimpinan DPRD, itu sebenarnya bagaimana apa mutlak peraih suara
terbanyak sebagai Ketua?
Begini
bila didasarkan pada pasal 24 dan pasal
31 UU Nomor 4 Tahun 1999, memang mengenai pemilihan Pimpinan DPRD ini
menimbulkan kerancuan dan kebingungan. Karena dalam ayat 1 dikatakan, Pimpinan
DPRD mencerminkan fraksi-fraksi berdasarkan urutan besarnya jumlah anggota
fraksi daalam DPRD. Tetapi dalam ayat 4 justru dikatakan, tata cara pemilihan
DPRD diatur dalam Tata Tertib, dan hal ini diperkuat lagi dengan Edaran
Departemen Dalam Negeri, bahwa tata cara pemilihan harus diatur dalam Tata
Tertib DPRD. Dan DPRD DKI Jaya sudah melaksanakan.
Anda
menyinggung DPRD DKI Jakarta, pengalaman apa yang bisa ditarik dari DPRD DKI
Jaya itu ?
Bahwa
belum tentu fraksi yang memiliki jumlah anggota besar mulus menjadi Ketua DPRD
DKI Jaya. PDI-P yang punya 30 orang anggota, ternyata "jago" dari
PDI-P hanya mendapat 9 suara, bukannya 30 suara. Malahan ABRI yang jumlah
anggotanya hanya 9, justru "jago-nya" memperoleh 40 suara. Ini adalah
pemilihan yang demokratis dan tidak diarahkan, apalagi direkayasa. Di era
reformasi, memang seharusnyalah demikian.
Anda
senri mengartikan Ketua DPRD itu bagaimana
Bahwa
Ketua bukanlah seorang komandan atau kepala dinas, karenanya emolumenten dan
fasilitas Ketua harus bisa disederhanakan, jangan terlampau menyolok, sehingga
jabatan Ketua itu tidak lagi menjadi obyek rebutan. Kedudukan Ketua harus
merupakan jabatan tanggung jawab.(*)