Woodstock, Peribadatan Rock 'n' Roll (1)
Inilah
sekuel mutakhir, dari trilogi fragmen akbar rock'n'roll yang pernah ada.
Sekaligus merangkum komunitas musikal antar generasi di planet bumi, dalam
kurun tiga dekade. Kini hingar bingar musim panas itu terjadi di Griffiss
Technology Park-Rome, New York tanggal 23 hingga 25 Juli 1999. Lebih 300.000
kepala berkumpul memadati lahan seluas 3600 Acre atau 1600 ha. Areal terbagi
atas 100 hektar untuk parkir kendaraan, serta 310 hektar buat lokasi kemping
massal para penonton. Bagian terbesarnya adalah arena pagelaran musik terbuka,
dengan dua panggung utama yang terpisah sejarak 1 kilometer.
Jika di
pentas A (north stage) sedang tampil Red Hot Chili Peppers, maka secara
bersamaan panggung B (south stage) digeber gempuran Metallica. Dengan luas
pentas 800 meter persegi, dibutuhkan 200 mikrofon serta 500 speakers berdaya
900.000 watts. Kabel tata suara yang berseliweran, jika direntangkan bisa
sepanjang 5 km. Itu untuk satu panggung utama. Belum ditambah beberapa venue
dadakan, tempat musisi kagetan tampil dalam forum jam session. Misalnya Alanis
Morissette nge-band spontan bareng Sugar Ray.
Hampir
seratus rockers kelas jagad berkumpul untuk tampil giliran selama tiga hari.
Diawasi helikopter panitia yang hilir mudik memantau keadaan. Pada dataran luas
terpampang spanduk raksasa bertuliskan,''Welcome Woodstock '99 Attendees!''
Sementara antrian panjang kendaraan terus memasuki lokasi di sekitar Black
River Boulevard, hingga macet dalam 20 km. Kira-kira dari jalan Gajah Mada
sampai ke bandara Supadio. Semua kegilaan ini bermuara pada satu ritual
legendaris, Woodstock Festival of Music and Arts Fair.
''The
spirit of love, peace and music!''
mantera yang terdengar berulang, dari panggung maupun diantara penonton.
Menjadi refleksi tematik atas semangat tiga hari dalam cinta, damai dan musik.
Inilah simbol para true believers rock'n'roll, memandang Woodstock sebagai
tonggak budaya manusia sejak era 60-an hingga penutup millenium II. Bahwa
Woodstock telah bersabda pada sejarah, sesungguhnya peradaban tak memerlukan
perang juga anarki politik. Yang dibutuhkan hanya cinta, musik dan ''obat''
maka semua akan beres, babe.
Filosofi
sebagai nyawa Woodstock, namun segera dihujat kritikus maupun moralis.
Tanggapan sinis dengan mengingatkan pada kuasa kegelapan telah menjelma lewat
hingar bingar rock. Woodstock adalah puncak kenaifan yang membius sekaligus
berbahaya dari era yang naif pula. Simplikasi berlebihan terhadap cara pandang
permasalahan kompleks dunia. Hasilnya? Woodstock tidak membuktikan apapun
hingga kini, kecuali pembenaran sensasi degradasi moral. Ternyata cinta, musik
dan obat tidak menjamin solusi apapun.
Namun
demikianlah, rock memang memiliki sifat dasar naif, simplisitis, luar biasa
bengal dan berontak. Selalu membandel dan reaksioner terhadap segala kemapanan
dan aturan normatif. Kegarangan lantang tanpa basa basi, membuat rock malah
didengar, ajang pelampiasan serta jadi identitas tersendiri. Melalui mulut para
pendekarnya, yakni juru bicara anomali atau wakil pribadi devian dalam simbol
ekslusif. Ternyata mampu membaca dan mengekspresikan agresi bawah sadar
(psikologis) kolektif masyarakat yang tersumbat.
Sejak
Elvis Presley menggoyangkan pinggulnya di pentas terbuka tahun 55-an. Seolah
frontal menantang tatanan hipokrasi moral Amerika saat itu. Kritisi musik
mengecam sebagai pemerkosaan atas kaidah esensi berkesenian. Kalangan
konservatifpun terperangah menyaksikan konser multi rasial, dengan melibatkan
musisi kulit hitam nge-jreng berdampingan di satu panggung.
Tahun
60-an, rock makin menemukan momentum. Inovasi musikalnya maju selangkah
dibanding jurus perintis awal rock'n'roll, terutama saat diadopsi Inggris.
Suara yang dihasilkan lebih keras, liriknya kritis dalam eksplorasi pekat.
Gairah yang kelak menimbulkan ragam aliran, hard rock, folk rock, psychadelic
rock hingga heavy metal. Sementara Amerika dilanda frustrasi perang Vietnam,
krisis Kuba, tertembaknya presiden John F. Kennedy hingga keraguan awam akan
keberhasilan langkah kaki Neil Armstrong dengan Slamet di bulan!
Kaum
muda berkumpul dan mencari tatanan baru, berpaling pada musik. Para rockers
berkotbah nyaring, antitesa dari kemunafikan yang dijejalkan kaum akademis,
politikus dan agamawan. ''Make love not war'', frasa universal wasiat John Lennon.
Menjadi sabda besar generasi 60-an serta ritual pasifisme juga perdamaian.
Panggung konser adalah peribadatan, serupa kotbah dari atas panggung kepada
penontonnya, true believers rock'n'roll.
Akhirnya
kepada Woodstock mereka datang. Berhimpun dari pedalaman Amerika (Creedence
Clearwater Revival), kaum hippies Gratefull Dead, Janis Joplin mewakili pesisir
barat hingga the Who memimpin peziarah Inggris. Berkumpul dalam komunal
terbesar rock'n'roll. Woodstock mentahbiskan ritus itu sendiri, sebagai fundamen
pertunjukkan konser modern. Melalui Woodstock, Jimi Hendrix menggigit gitarnya
dalam lagu kebangsaan The Stars Spangled Banner. Lalu membakar dan menghempaskannya ke kotak amplifier. Khotbah bab
satu selesai.(*)