Mari Bersyukur
Oleh P.Piet Apot,Pr
PERTENGAHAN
tahun 1993 yang lalu, beberapa surat kabar terbitan Ibukota ramai-ramai
menurunkan berita tentang pemogokan di sebuah perusahaan milik seorang pejabat
tinggi di negeri kita ini. Mereka yang mogok ini menuntut perbaikan gaji,
jumlah jam kerja yang normal, serta beberapa tuntutan yang lain yang berkaitan
dengan perbaikan nasib. Buntut aksi mogok ini tidak beda dengan aksi serupa
yang sudah-sudah. Seperti yang sudah diramalkan banyak orang sebelumnya, mereka
di PHK. Selain karena alasan perusahaan terus merugi, aksi mogok dinilai
bertentangan dengan norma atau sopan santun Indonesia, mengganggu keamanan.
Soal
PHK, atau Pemutusan Hubungan Kerja tidak hanya terjadi diperusahaan-perusahaan
besar milik para konglomerat, milik para penguasa. Kasus yang sama pula sering
terjadi dan menimpa mereka-mereka yang bekerja di lembaga-lembaga yang dengan
lantang menyuarakan keadilan, lembaga-lembaga yang berkobar-kobar mengutuk
ketidakadilan, penindasan dan mengutuk tindakan semena-mena. Termasuk di
lembaga-lembaga keagamaan.
Saudara
saudari seiman yang terkasih. Dalam bacaan Injil hari ini sepintas menyerempet
masalah hubungan buruh majikan, karyawan pengusaha, anak buah-pimpinan,
atasan-bawahan. Masalah kerja, masalah upah, masalah keadilan. Namun ada bagian
yang terasa janggal, yang sempat tercetus dalam pertanyaan: Mengapa kami yang
kerja keras sepanjang hari diperlakukan sama dengan yang baru datang? Mengapa
kami tidak diberi upah yang lebih besar? Bukankah ini sesuai dengan rasa
keadilan? Masalah yang cukup peka dan sulit ini coba dijawab secara hukum:
Bukankah kita sepakat mengenai upah? Bukankah saya telah memberi apa yang telah
kita sepakati? Kalau saya juga memberikan jumlah yang sama kepada orang lain,
bukankah itu hak saya? Mengapa mesti menggerutu?
Bagaimanapun
jawaban ini terasa kurang memuaskan. Jawaban-jawaban semacam itu dapat dikejar
dengan pertanyaan-pertanyaan karena rasa keadilan belum terjawab tuntas.
Saudara
saudari yang terkasih. Bacaan Injil hari ini bukan terutama mau menyoroti
masalah keadilan, soal hak, tetapi mau mengemukakan soal KEBIJAKSANAAN ILAHI.
Soal ini sangat penting pada masa itu, yang berkaitan dengan rencana
keselamatan Allah. Pada masa itu, dari waktu ke waktu semakin banyak orang
menjadi Kristen. Bahkan posisi mereka semakin kuat, Hal ini lama kelamaan
menimbulkan masalah dalam hubungan dengan orang-orang yang telah lebih dahulu
menjadi Kristen, bahkan disebut putra-putri Abraham. Menurut jalan pikiran
mereka, seharusnya merekalah yang layak mendapat perlakukan yang lain, mendapat
semacam prioritas atau kemudahan, harus selalu didahulukan. Tetapi kenyataannya
tidak demikian. Mereka diperlakukan sama. Kebijaksanaan Allah ternyata tidak
memperhitungkan soal waktu. Soal duluan atau belakangan bukankah hal yang
penting dan paling menentukan dalam kedudukan sebagai putra-putri Allah.
Di
sinilah kebijaksanaan Ilahi itu sukar dimengerti. Seringkali tidak masuk akal.
Tidak dapat dipahami dan dicerna dengan akal budi kita manusia. Ada banyak
contoh. Misalnya, menurut perhitungan biasa, orang yang saleh, jujur,
berkelakuan baik, layak mendapat pahala. Layak bila mereka hidup berkecukupan.
Sedangkan yang suka nyeleweng, menghamburkan-hamburkan uang yang bukan haknya,
layak dihukum, sengsara hidupnya, tidak hanya kelak tetapi juga sekarang ini.
Kenyataan,
orang yang hidup baik-baik, hidupnya serba pas-pasan. Bahkan tidak sedikit
berkekurangan. Sebaliknya mereka yang hidup curang, malah hidup dalam
kelimpahan, hidup dalam kemewahan. Lalu di mana letak keadilan Tuhan?
Lewat
bacaan Injil hari ini terungkap anjuran bahwa manusia layak bersyukur atas
segala anegerah dan pemberian Tuhan. Manusia patut bersyukur karena dipanggil
untuk menjadi seorang Kristen. Bersyukur karena diberi kesempatan untuk hidup
baik, jujur, hidup sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Bersyukur karena
selama hidup di dunia ini boleh
beramal, berbuat sosial, boleh memberi teladan kepada para tetangga. Dan rasa
syukur ini hendaknya semakin mendorong kita untuk lebih giat dalam pengabdian
dan penyerahan diri kepada kehendak-Nya. Kiranya kesempatan untuk berbuat amal,
untuk berbuat sosial,menjadi teladan bagi masyarakat yang masih terbentang
lebar tidak kita sia-siakan.*