Penetapan HET Minyak Tanah Rugikan Masyarakat

 

Pontianak, AP Post

Penetapan harga eceran tertingi (HET) minyak tanah sesuai SK Gubernur Kalbar dinilai cacat hukum  dan merugikan masyarakat Kalbar. "SK Gubernur Nomor 475 tanggal 14 Desember 1998 cacat hukum dan merugikan masyarakat, dan perlu dicabut," kata Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Ekonomi dan Sosial Khatulistiwa Almizan SE didampingi Sekretaris Tony Kurniawan SH dan Bendahara Joko Mursito SE kepada AP Post, kemarin.

Pihaknya minta SK Gubernur Nomor 475 tahun 1998, dicabut. Karena acuan yang digunakan adalah Kepres Nomor 78 tahun 1998, seharusnya Kepres Nomor 10 tahun 1998. "Apalagi, penetapannya terkesan sepihak dan diindikasi tidak melibatkan DPRD Kalbar," jelasnya.

Seperti diketahui, minyak tanah termasuk unsur BBM yang sangat diperlukan masyarakat, di luar kebutuhan sembako. Terutama untuk masyarakat di pedesaan. Atas dasar ini, maka Presiden BJ Habibie melalui Kepresnya Nomor 180 tahun 198 tanggal 1 Oktober 1998, yang diundangkan alam Lembaran Negara RI tahun 1998 Nomor 174 sebagai pengganti Kepres Nomor 78 tahun 1998, telah menetapkan harga jual eceran BBM di dalam negeri termasuk di dalamnya minyak tanah sebesar Rp 280 per liter (sudah termasuk PPN 10 persen).

Namun realitanya, harga jual tertinggi minyak tanah antara daerah yang satu dan daerah lainnya dalam wilayah Kalbar atas dasar SK Gubernur Nomor 475 tahun 1998 tanggal 14 Desember 1998, berbeda. Sementara penetapan harga jual eceran menurut Kepres Nomor 180 tahun 1998, dimana perbedaan yang boleh terjadi paling sedikit Rp 60 per liter.

Sebagai contoh, untuk angkutan darat di Kodia Pontianak ditetapkan Rp 340 per liter, sedangkan di kios-kios pengecer rata-rata Rp 400 per liter. Di Mempawah ditetapkan Rp 355 per liter, di Singkawang ditetapkan Rp 400 per liter, di Pemangkat ditetapkan Rp 420 per liter.

Di Sambas ditetapkan Rp 445 per liter, sedangkan di pangkalan dan kios-kios pengecer harga mencapai Rp 600 per liter, di Sintang dan Sanggau ditetapkan Rp 340 per liter, di Nanga Pinoh ditetapkan Rp 360 per liter, di Ngabang ditetapkan Rp 420 per liter, di Sekadau ditetapkan Rp 345 per liter dan di Kendawangan ditetapkan Rp 370 per liter.

Sementara untuk angkutan sungai darerah Putusibau ditetapkan Rp 370 per liter, di Nanga Marakai ditetapkan Rop 370 per liter. "Atas dasar itulah, kami berkesimpulan SK Gubernur Nomor 475 tanggal 1998 adalah cacat hukum dan merugikan masyarakat Kalbar, makanya perlu dicabut," tegas Almizan, Tony Kurniawan dan Joko Mursito.

Dapat dipastikan, ungkap mereka, semua rumah tangga keluarga setiap hari sangat membutuhkan minyak tanah. Jika harga ecerannya meningkat, maka berarti pengeluaran rumah tangga dan biaya hidup meningkat pula.

Sebagai komoditi vital, kenaikan ini berarti dapat mendorong kenaikan harga-harga komoditi primer lainnya, termasuk komoditi pelengkap maupun komoditi substitusinya. "Ini akan mendorong peningkatan inflasi, bahkan SK Gubernur Nomor 475 tahun 1998, jelas mempertahankan inflasi yang sudah tinggi, yang sebenarnya dapat ditekan," ujar para aktivis LSM ini.

Menurut mereka, sebenarnya SK Gubernur Kalbar tentang penetapan HET minyak tanah tak harus ada seperti Dati I lainnya di Indonesia. Karena yang namanya Keputusan Presiden sifatnya operasional, kecuali berupa Undang-undang ataupun Peraturan Pemerintah.

Kalau memang masih dianggap perlu dengan alasan agar tak menimbulkan gejolak dalam masyarakat, kebijaksanaan tersebut penetapannya harus dengan persetujuan DPRD dengan tetap merujuk pada Kepres terakhir, bukan Kepres yang sudah dirubah seperti Kepres Nomor 78 tahun 1998.(mzr)