Sulit, Bunga Kredit Konstruksi Tinggi

 

Pontianak, AP Post.

Kendati pemerintah telah mengucurkan kredit konstruksi secara bertahap, namun secara umum belum bisa dimanfaatkan oleh anggota REI karena suku bunganya masih tinggi yakni 25 persen.

"Karena itu kita mengharapkan agar pemerintah menurunkan suku bunga kredit tersebut secara bertahap, mengingat suku bunga deposito sekarang sekitar 13 persen," kata Wakil Ketua DPD REI Kalbar Ir Crish Hamsi kepada AP Post kemarin, di kantornya.

Menurut dia, mestinya suku bunga kredit konstruksi tidak terlalu tinggi dari bunga deposito. Bila suku bunga kredit kunstruksi bisa 15-16 persen atau maksimal 18 persen, pelaku bisnis khususnya REI bisa mulai melakukan kegiatan. Tapi dengan suku bunga 25 persen ke atas, dinilai masih sangat menyulitkan. ''Itu karena margin untuk pembangunan Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS) sangat kecil sekali," katanya.

Namun diakuinya, memang saat ini ada satu dua anggota REI yang sudah mulai melakukan kegiatan, namun aktivitasnya belum bisa berjalan selancar dulu. Maksudnya, pembangunan yang dilakukan baru pada tapak-tapak bangunan yang akan dikerjakan.

Ia memperkirakan pembangunan RS dan RSS baru begitu nampak atau mulai normal, setelah sidang umum MPR atau pada awal tahun depan. "Karena itu, kita harapkan pada awal tahun depan nanti tingkat suku bunga kredit sudah bisa disesuaikan atau turun, seiring dengan angka bunga deposito," harapnya.

Khusus untuk kredit konstruksi, menurut pengakuan Crish, sebetulnya anggota REI tidak terlalu banyak mempergunakannya, kalaupun  ada itu katanya, kurang dari 30 persen. Apalagi kondisi ekonomi yang belum pulih betul, menyebabkan banyak develover memilih berusaha sendiri, tanpa bantuan dana perbankan untuk perolehan kredit konstruksi baru.

Selain itu, aku Cris, banyak pengembang yang masih khawatir tidak stabilnya apresiasi dolar terhadap rupiah. ''Dengan kata lain mereka menunggu sampai nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil. Karena sekarang ini masih turun naik, otomatis harga bahan bangunpun ikut berfluktuasi. Itu sangat mengkhawatirkan''..

Stabilnya apresiasi rupiah terhadap dolar itu diakui Cris bisa menjadi masalah besar. Pasanya bila angka tukar tersebut stabil amat mempermudah pihak pengembang membuat masterplan, rencana usaha. "Tidak seperti sekarang, minggu ini Rp 6.000 tiba-tiba minggu depannya melonjak menjadi Rp 9.000 per dolar AS, dan ini sangat menyulitkan kita," jelas Crish.

Ia menilai, Malaysia yang menempuh kebijaksanaan fixed rate dengan nilai tukar ringgit yang tetap akan lebih beruntung. Setidaknya mereka akan lebih gampang membuat rencana, termasuk memprediksi bisnis yang ia geluti. Resikonya pun, sambung Crist, bisa dieliminir setipis mungkin. ''Tapi yang jelas berfluktuasinya nilai tukar rupiah, tidak hanya menyulitkan bagi para pengembang perumahan tapi  juga semua usaha bisnis lainnya''..(abu)